Sabtu, 30 November 2013

Warung

     Tulisan ini saya buat untuk mbak Fifi,yang katanya tulisan saya ini sukar dipahami,dari awal hingga akhir. Yang saya sendiri bingung yang sukar dipahami dibagian mananya.
     Di depan rumah saya ada warung yang dagang setiap hari dan saya katakan sepi pembeli tapi ramai pengunjung alias tamu yang datang hanya untuk mengobrol. Saya rasa pemilik warung tersebut berdagang sembari mengisi waktu luang karena warungnya menyatu dengan rumah dan buka tutup semau yang punya warung.
     Setiap hari warung tersebut disantroni oleh pengamen. Pengamen yang saya kategorikan sebagai preman terselubung dengan ciri suara pas-pas an,bergitar,dan bernyanyi sampai dikasih uang,maksa lagi. Kalau tidak dikasih bakal nyanyi terus.
     Saya suka menghitung,kalau sehari pengamen datang lima orang dan kelima orang tersebut dikasih uang lima ratus rupiah,maka warung secara langsung sudah merugi dua ribu lima ratus rupiah. Dan apabila dikali tiga puluh hari maka akan mengeluarkan biaya tujuh puluh lima ribu rupiah. Belum apa-apa sudah tekor duluan,memang nasib pedagang harus modal dulu bagaimanapun juga.
     Warung kini kian tergusur dengan minimarket yang memiliki kelebihan antara lain ber-AC,self service.Tinggal bayar di kasir. Beres,tidak pakai lama.
     Keunggulan warung yang paling mencolok dibandingkan minimarket yaitu bisa HUTANG. Mana ada minimarket bisa bayarnya pakai hutang?
     Satu-satunya keunggulan warung yang tidak dapat terbantahkan adalah hubungan yang akrab antara pedagang dan pembeli,baik itu warung kopi,warung makan,maupun warung sembako. Dibandingan dengan karyawan minimarket yang terasa sangat kaku ketika melayani pembeli. Mungkin bukan melayani dengan hati,melainkan hanya karena tuntutan pekerjaan.
     Interaksi lebih banyak terjadi ketika ada di warung.Walaupun sekarang sudah semakin tergerus oleh sikap individualistis dari masing-masing kita. Di warung tersebut banyak orang bercakap-cakap,entah apa yang dibahas karena saya sendiripun hanya mengamati dari jauh.Mungkin pemandangan ini tidak akan saya temukan di perumahan-perumahan elite di Surabaya. Haruskah saya bersyukur akan hal ini? Mungkin iya.Karena warung di depan rumah saya bisa membuat tulisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar