Tahukah anda pekerjaan paling membuat stress adalah Pemuka Agama? Mereka dituntut menjadi maha segalanya. Maha tahu,maha suci,maha hadir serta maha lainnya.
Mereka juga manusia biasa yang memiliki banyak kelemahan. Bayangkan ketika mereka sedang terpuruk? Kepada siapakah mereka akan mengadu? Kepada jemaat? Yang ada hanya ada celaan. Jika pemuka agamanya seperti itu bagaimana nasib jemaatnya. Jemaat mengharapkan Pemuka Agama yang tangguh setiap saat,mampu mengatasi semua masalah,tempat bersandar setiap waktu, bahkan berharap bahwa pemuka agama adalah suara Tuhan itu sendiri.
Banyak permasalahan yang timbul ketika menjadi pemuka agama. Misalkan terlalu sibuk mengurus jemaat,padatnya jadwal untuk kotbah,sehingga mentelantarkan keluarga. Citra pemuka agama harus selalu tampak sempurna. Mana ada hal seperti itu di dunia ini? Yang ada adalah sebisa mungkin menutupi kelemahan,agar tidak diketahui masyarakat umum.
Sebut saja punya istri lebih dari satu. Sudah pasti habis karier pemuka agama tersebut. Tapi jika punya simpanan atau nikah bawah tangan,itu lain cerita,kan bisa saja disangkal karena tidak ada bukti kongkrit.
Ada sebuah cerita dari pendeta,bahwa ia harus berpikir ulang ketika akan berlama-lama di sebuah cafe. Mengapa? Karena nanti disangkanya pendeta ini pengangguran,tidak ada kerjaan,hobinya ke kafe saja,untuk nongkrong. Padahal sebenarnya ia ingin mencari suasana baru untuk menulis,tapi asumsi orang siapa dapat mengetahuinya? Itu baru satu permasalahan.
Pemikiran jemaat,pemuka agama harusnya ada di gereja setiap saat,ataupun di pesantren/masjid untuk berkotbah,tidak ada kegiatan lain selain yang berbau spiritual. Siapa juga jemaat yang menjadi hakim atas segala tindakan pemuka agama.
Seharusnya kita menatap siapa yang berada di balik pemuka agama. Yaitu Tuhan itu sendiri. Tapi manusia selalu ingin menatap yang berwujud. Bayangkan ketika berdoa. Seakan ngobrol sendiri kan? Tidak ada respon balik,maka pertanyaan yang timbul apakah Tuhan mendengar suara kita. Kalau dengan pemuka agama kan fisiknya keliatan,jawaban pun bisa langsung diterima melalui pemuka agama. Inginnya serba instan. Ketika pemuka agama pamornya redup karena sebuah permasalahan, maka kecewalah jemaat. Namanya juga bersandar pada manusia pasti akan banyak rasa kecewa yang muncul.
Tulisan ini bukan yang paling benar,tapi jika anda belajar menghargai pemuka agama,anda pun harus berpikir,mereka adalah manusia biasa,yang sama seperti kita,penuh dengan cacat cela. Jika mereka berkotbah ambil yang baik dan buang yang jelek,seburuk-buruknya manusia pasti ada sisi baiknya. Sebaik-baiknya manusia pasti ada keburukannya. Cukup pahami pernyataan ini. Kesempurnaan hanya milik Tuhan.
Mereka juga manusia biasa yang memiliki banyak kelemahan. Bayangkan ketika mereka sedang terpuruk? Kepada siapakah mereka akan mengadu? Kepada jemaat? Yang ada hanya ada celaan. Jika pemuka agamanya seperti itu bagaimana nasib jemaatnya. Jemaat mengharapkan Pemuka Agama yang tangguh setiap saat,mampu mengatasi semua masalah,tempat bersandar setiap waktu, bahkan berharap bahwa pemuka agama adalah suara Tuhan itu sendiri.
Banyak permasalahan yang timbul ketika menjadi pemuka agama. Misalkan terlalu sibuk mengurus jemaat,padatnya jadwal untuk kotbah,sehingga mentelantarkan keluarga. Citra pemuka agama harus selalu tampak sempurna. Mana ada hal seperti itu di dunia ini? Yang ada adalah sebisa mungkin menutupi kelemahan,agar tidak diketahui masyarakat umum.
Sebut saja punya istri lebih dari satu. Sudah pasti habis karier pemuka agama tersebut. Tapi jika punya simpanan atau nikah bawah tangan,itu lain cerita,kan bisa saja disangkal karena tidak ada bukti kongkrit.
Ada sebuah cerita dari pendeta,bahwa ia harus berpikir ulang ketika akan berlama-lama di sebuah cafe. Mengapa? Karena nanti disangkanya pendeta ini pengangguran,tidak ada kerjaan,hobinya ke kafe saja,untuk nongkrong. Padahal sebenarnya ia ingin mencari suasana baru untuk menulis,tapi asumsi orang siapa dapat mengetahuinya? Itu baru satu permasalahan.
Pemikiran jemaat,pemuka agama harusnya ada di gereja setiap saat,ataupun di pesantren/masjid untuk berkotbah,tidak ada kegiatan lain selain yang berbau spiritual. Siapa juga jemaat yang menjadi hakim atas segala tindakan pemuka agama.
Seharusnya kita menatap siapa yang berada di balik pemuka agama. Yaitu Tuhan itu sendiri. Tapi manusia selalu ingin menatap yang berwujud. Bayangkan ketika berdoa. Seakan ngobrol sendiri kan? Tidak ada respon balik,maka pertanyaan yang timbul apakah Tuhan mendengar suara kita. Kalau dengan pemuka agama kan fisiknya keliatan,jawaban pun bisa langsung diterima melalui pemuka agama. Inginnya serba instan. Ketika pemuka agama pamornya redup karena sebuah permasalahan, maka kecewalah jemaat. Namanya juga bersandar pada manusia pasti akan banyak rasa kecewa yang muncul.
Tulisan ini bukan yang paling benar,tapi jika anda belajar menghargai pemuka agama,anda pun harus berpikir,mereka adalah manusia biasa,yang sama seperti kita,penuh dengan cacat cela. Jika mereka berkotbah ambil yang baik dan buang yang jelek,seburuk-buruknya manusia pasti ada sisi baiknya. Sebaik-baiknya manusia pasti ada keburukannya. Cukup pahami pernyataan ini. Kesempurnaan hanya milik Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar