Minggu, 30 Maret 2014

Perlukah memberi Uang Tip?

     Suatu ketika dalam perjalanan mengirim barang,saya berserta sopir bercakap-cakap ringan.
"Enak jadi sopir terkadang dikasih tips,lumayan buat tambahan uang makan atau rokok".Ujar si sopir.
Saya pun hanya tersenyum simpul ketika mendengarnya.
     Saya tidak bisa menyalahkan sopir tersebut,namanya dikasih,pura-pura menolak tapi dalam hati sih mau banget. Terlalu normatif,tapi mengingkari hati sendiri.
     Ini cerita dari karyawan lain,sebut saja si B. Kalau mengirim barang milih-milih,kalau yang memberi tips pasti didahulukan,kalau tidak ada uangnya ditunda saja,terkadang melemparkan ke sopir yang lain. Yang lain cuma bisa melongo,karena sopir ini cukup senior.Gara-gara tips tadi,sang sopir memiliki prioritas yang berbeda,mendahulukan yang memberi uang,kalau tidak berduit nanti dulu. Pengalaman tersebut pernah saya praktekan sendiri,mendukung yang memberi uang. pelayanan jadi lebih sigap,cepat.
     Mendidik mental tanpa tips itu susah,seperti kita mencela pemerintahan yang korupsi besar-besaran,tapi kita juga suka diberi uang ucapan terima kasih. Lah uang kecil aja suka apalagi uang besar? Membandingkan dengan Jepang yang warganya menolak untuk diberi tips,sungguh perbadingan yang terlalu jauh.
     Kerja tanpa pamrih saya sudah jarang terjadi. Kalaupun ada itu karena tidak adanya kesempatan. Andai ada pasti lain cerita.
     Saya pribadi tidak suka memberi tips.Orang akan bilang saya kikir,pelit dan lain sebagainya. Terserah anda yang menilai,toh saya melakukan apa yang saya anggap benar.
     Pertama-tama orang yang memberi tips serasa menjadi raja karena uang,tapi itu semua memiliki maksud,tolong prioritaskan saya. Kalau tidak bisa jadi uring-uringan. Kan konyol. Jalur cepat. Kalau bisa cepat menggunakan uang,ngapain juga harus repot-repot. Mengubah paradigma masyarakat luas tidak akan pernah mudah,sukar tetapi bukan berarti tidak mungkin dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar