Minggu, 19 Januari 2014

Pengamen.

Pengamen yang saya foto dari kejauhan

     Sering mendengar pengamen bernyanyi? Suara tidak jelas,nada tanpa intonasi,serasa membaca,tapi tetap saja PeDe. Setiap hari saya menyaksikan banyaknya pengamen di jalanan,maupun pengamen dari kampung ke kampung. Terutama kota Bandung kota para seniman jalanan,disebabkan banyaknya pengamen di tiap stop-an lampu merah.Berbeda dengan Surabaya,lebih banyak pengemis atau loper koran di jalanan.
     Banyaknya pengamen menyebabkan masalah. Terutama penampilan "sangar" sang pengamen. Penampilan yang mengitimidasi semisal rambut gondrong,bertato atau rambut di model mohawk. Membuat takut orang yang didekatinya,menyebabkan memberikan selembar uang bukan karena suara merdu,melainkan rasa takut.
      Ada yang bilang itu bagian dari pengekspresian seni. Kalau dipikir ada kebenaran dibalik kata-kata itu. Menjadi berbeda tidak pernah salah,karena minoritas itu belum tentu salah,tapi minoritas akan menjadi korban. Korban keadaan,lingkungan maupun sosial budaya.
     Bagi orang awam mungkin pengamen harus disingkirkan dari jalanan. Saya setuju dengan hal itu. Tapi harus ditemukan solusinya. Bukan hanya menyingkirkan seperti kucing jalanan. Mungkin pengamen butuh wadah "gratis." Seperti gedung seni budaya,untuk menyalurkan apa yang mereka sukai. Kesukaran itu tetap akan ada.
     Mana ada sih yang gratis di jaman sekarang?Pengajar harus dibayar,gedung harus disewa,peralatan pun harus tersedia. Orang masuk WC aja sekarang harus bayar,yang gratis itu hanya nafas,tidak tahu lagi kalau nanti Oksigen menjadi langka. Masih adakah yang tertarik untuk menggratiskan sesuatu di jaman sekarang?
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar